Review Pertandingan Indonesia vs Jepang: Evaluasi Total Usai Kekalahan 0-6 di Kualifikasi Piala Dunia 2026
TribunBola.co.id – Kekalahan 0-6 dari Jepang menjadi pukulan telak bagi Timnas Indonesia dalam laga terakhir Grup F Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, yang berlangsung di Suita City Stadium, 11 Juni 2025. Dengan skor mencolok ini, Garuda harus menelan kenyataan pahit, meski tetap lolos ke babak keempat sebagai runner-up grup.
Dominasi Total Jepang dari Menit Awal
Tim Samurai Biru tampil superior sejak menit pertama. Dalam 15 menit awal, Jepang sudah menguasai bola lebih dari 70% dan mencetak gol pembuka lewat Daichi Kamada. Pergeseran formasi cepat, rotasi antar lini, serta tekanan intens membuat pemain Indonesia kesulitan membangun serangan. Lini tengah dikuasai sepenuhnya oleh Jepang yang bermain agresif namun terukur.
Florian Wirtz dari Leverkusen, salah satu pemain kunci Jepang dalam laga ini, terus mengancam sisi kanan pertahanan Indonesia. Umpan-umpan vertikal dan pergerakan tanpa bola dari pemain Jepang menjadi mimpi buruk bagi barisan belakang Garuda. Tak ada skema bertahan yang mampu meredam laju lawan, terlebih pressing tinggi Jepang berjalan sangat efektif.
Performa Bertahan Indonesia Disorot
Timnas Indonesia sebenarnya mengusung skema 5-3-2 dalam fase bertahan, namun koordinasi antar pemain belakang tak berjalan mulus. Dua bek sayap sering tertinggal posisi, dan organisasi lini kedua gagal menutup celah. Akibatnya, lima gol tercipta dari kombinasi umpan pendek dan overload area di sepertiga akhir lapangan.
Minimnya Kreativitas dan Transisi Serangan
Satu dari banyak masalah dalam laga ini adalah transisi negatif Indonesia yang lambat dan minim variasi serangan. Dari statistik, Indonesia hanya mencatatkan 1 tembakan ke arah gawang — dan itu pun terjadi di babak kedua saat Jepang mulai menurunkan intensitas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada skema build-up yang jelas dari lini belakang ke tengah.
Peran pemain seperti Marc Klok dan Ricky Kambuaya dalam mendistribusikan bola juga tidak maksimal. Serangan yang dibangun sering terputus sebelum masuk ke wilayah sepertiga akhir lawan. Banyak keputusan individu yang terburu-buru, serta kesulitan dalam melewati garis pressing Jepang, yang sangat disiplin menutup ruang.
Di sisi lain, Shayne Pattynama dan Sandy Walsh yang biasanya menjadi opsi overlap dari sisi sayap, tidak mampu menembus blok pertahanan Jepang. Serangan dari sisi pun buntu, membuat Indonesia terpaksa banyak memainkan bola di area sendiri. Hal ini membuat Jepang semakin nyaman mendikte tempo pertandingan.
Kritik Terhadap Struktur Tim & Pergantian Pemain
Patrick Kluivert sebagai pelatih kepala mendapat banyak kritik pasca laga ini. Struktur tim terlihat tidak adaptif. Setelah kebobolan tiga gol di babak pertama, tidak ada perubahan berarti baik dari segi taktik maupun susunan pemain yang mampu mengubah alur pertandingan.
Masuknya Egy Maulana Vikri, Lilipaly, dan Dimas Drajad di babak kedua memang memberi semangat baru, namun tidak cukup memberi efek pada permainan kolektif tim. Indonesia tetap kesulitan menjaga penguasaan bola, apalagi menyusun skema kombinasi di daerah lawan.
Evaluasi Individual: Siapa yang Tampil Paling Terbebani?
Dari sudut pandang individu, lini belakang Indonesia jadi titik sorotan utama. Jordi Amat dan Rizky Ridho, dua bek tengah andalan, terlihat kewalahan menghadapi mobilitas pemain Jepang seperti Kubo, Kamada, dan Hosoya. Keduanya sering tertarik keluar posisi, meninggalkan celah yang langsung dimanfaatkan lawan dengan bola-bola cutback cepat.
Penampilan Ernando Ari di bawah mistar juga menuai beragam pendapat. Meski kebobolan enam gol, beberapa penyelamatan penting tetap ia lakukan. Namun, koordinasinya dengan barisan belakang kerap terlambat — terutama saat mengantisipasi bola mati dan pergerakan diagonal lawan.
Di lini tengah, performa Marc Klok dan Witan Sulaeman juga menurun drastis dibanding laga sebelumnya melawan China. Witan terlihat kesulitan lepas dari penjagaan ketat, dan Klok kalah duel fisik maupun distribusi bola. Lemahnya kontrol lini tengah membuat aliran bola tak pernah stabil.
Perbandingan Jarak Kualitas dengan Jepang
Realitasnya, Jepang adalah tim papan atas Asia yang berada jauh di atas Indonesia dalam hal kualitas skuad, pengalaman, dan intensitas bermain. Mereka tampil konsisten, memiliki kedalaman pemain berkualitas Eropa, serta mampu menjaga intensitas tinggi selama 90 menit.
Sementara Indonesia masih dalam fase transisi. Mayoritas pemain kita memang punya talenta dan semangat juang, tetapi belum cukup siap untuk laga dengan tempo dan tekanan sebesar ini. Perbedaan ini terlihat jelas dalam statistik, organisasi tim, dan kedewasaan bermain di atas lapangan.
Pelajaran dan Rekomendasi Menuju Putaran Keempat
Meski kekalahan dari Jepang sangat menyakitkan, pertandingan ini memberi pelajaran berharga bagi Timnas Indonesia menjelang babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026. Garuda butuh peningkatan signifikan, bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga mental, manajemen waktu bermain, dan pemahaman taktik secara kolektif.
Beberapa rekomendasi yang dapat menjadi catatan PSSI dan pelatih Patrick Kluivert antara lain:
- 1. Uji tanding melawan tim kuat: Lawan dengan gaya bermain tinggi seperti Irak, Qatar, atau Arab Saudi harus dicari untuk meningkatkan kesiapan taktik dan mental bertanding.
- 2. Rotasi dan seleksi pemain lebih fleksibel: Beberapa nama senior perlu dievaluasi. Talenta muda seperti Hugo Samir dan Arkhan Kaka bisa mulai dilibatkan lebih aktif.
- 3. Perkuat lini tengah: Posisi ini krusial karena menjadi jembatan antara pertahanan dan serangan. Profil gelandang bertahan yang kuat duel harus masuk dalam prioritas.
- 4. Tingkatkan kualitas recovery dan stamina: Ketahanan bermain 90 menit harus jadi fokus utama untuk bisa bersaing dalam laga high intensity.
Penutup: Realitas dan Harapan
Kekalahan 0-6 dari Jepang adalah cermin atas realitas saat ini, namun bukan akhir segalanya. Dengan persiapan lebih matang, pembenahan struktural, dan komitmen pembinaan jangka panjang, Timnas Indonesia masih punya peluang bersaing di babak keempat nanti.
Dukungan publik, media, dan federasi sangat penting agar tim tidak jatuh dalam pesimisme. Justru dari kekalahan seperti ini, fondasi yang lebih kuat bisa dibangun. Kini, saatnya melihat ke depan dengan sikap realistis, namun penuh optimisme.